Sensai Nakayama |
Peserta tampil sangat mengesankan dengan serangan
dan bertahan yang cepat, bertenaga dan tekniknya terkontrol dengan baik.
Peserta kata menampilkan gerakan yang cepat dan indah. Baik kumite dan kata
berhasil membuat penonton terkesan. Tak ada satupun peserta yang cedera dalam
pertarungan bebas itu.
Kompetisi yang terbilang baru itu berhasil dengan sukses. Itulah awal dari pertarungan bebas yang ditampilkan dalam turnamen karate di penjuru dunia pada hari ini. Akhirnya sebuah bentuk pertarungan yang mendekati nyata tampil ke hadapan publik.
Seperti yang kau ketahui,
aku berhasil mengatasi kebimbangan dengan membuat turnamen karate. Namun
demikian aku masih saja khawatir tentang satu hal. Seiring makin populernya
kompetisi karate, praktisinya menjadi terobsesi dalam kemenangan semata. Yang
paling banyak dipikirkan adalah bagaimana meraih angka sebanyak-banyaknya, dan
begitu cepatnya kompetisi tampaknya telah menghilangkan karakter sebenarnya
dari karate.
Dalam hal ini, kompetisi
akan menurunkan kualitas karate menjadi sekedar aksi saling pukul saja. Lebih
dari itu, aku tidak mampu menyatakan apakah gagasan pertarungan bebas adalah
jiwa dari karate seperti yang diajarkan oleh Master Gichin Funakoshi, pendiri
dari karate-do. Seperti yang kalian ketahui, jiwa dari karatenya membutuhkan
sebuah standar etika yang tinggi.
Seni orang yang berbudi
luhur
Master Funakoshi sering
menyebutkan sebuah pepatah lama Okinawa,
”karate adalah seni dari orang-orang yang berbudi luhur.” Tidak perlu dikatakan
lagi, bagi praktisi karate untuk tidak menyombongkan atau bahkan memamerkan
teknik mereka dengan alasan apapun yang menentang jiwa karate-do.
Makna karate-do menjadi lebih
dalam sebagai usaha untuk menguasai teknik bela diri. Tidak seperti olahraga
pada umumnya, karate-do mempunyai jiwanya sendiri. Untuk menjadi seorang master
yang sejati adalah untuk memahami jiwa karate-do sebagai sebuah jalan bela
diri. Karate-do telah tumbuh semakin populer hari ini, dan jiwa karate-do
sangat mudah diterima oleh pikiran kita. Disini aku ingin membahas tentang jiwa
karate-do, kembali ke akarnya sebagai jalan bela diri.
Dikatakan bahwa karate tidak
mempunyai sikap menyerang lebih dulu (sente). Hal itu menjadi sebuah peringatan
bagi praktisinya untuk tidak menyerang lebih dulu. Dan secara bersamaan, sebuah
larangan keras menggunakan teknik karate tanpa pertimbangan. Para
master karate, terutama Master Funakoshi, benar-benar memperingatkan muridnya
dengan mengulang kalimat itu berkali-kali.
Kenyataannya, hal itu memang menunjukkan jiwa dari karate-do. Dalam karate, kekuatan dari seluruh tubuh difokuskan pada satu titik, seperti tinju atau kaki, sehingga daya perusak yang besar akan hilang seketika. Karena itulah ada peringatan: Pikirkan bahwa kedua tangan dan kakimu sebagai pedang. Dalam sebuah turnamen, tinju atau tendangan dari si penyerang diarahkan pada sasaran sekitar beberapa inci dari badan lawan agar tidak mencederainya.
Kenyataannya, hal itu memang menunjukkan jiwa dari karate-do. Dalam karate, kekuatan dari seluruh tubuh difokuskan pada satu titik, seperti tinju atau kaki, sehingga daya perusak yang besar akan hilang seketika. Karena itulah ada peringatan: Pikirkan bahwa kedua tangan dan kakimu sebagai pedang. Dalam sebuah turnamen, tinju atau tendangan dari si penyerang diarahkan pada sasaran sekitar beberapa inci dari badan lawan agar tidak mencederainya.
Diluar pertimbangan tentang
daya perusak karate, ada nasihat: Tidak ada serangan lebih dulu dalam karate.
Semangat itu terwujud dalam kata, bentuk kembangan yang menjadi inti latihan
karate-do. Karate mempunyai dua macam latihan: kata dan kumite.
Kata adalah bentuk yang
mengkombinasikan serangan dan bertahan seolah menghadapi 4 atau 8 lawan dari
arah kanan, kiri, depan dan belakang. Sejauh yang kutahu, ada 40 atau 50 macam
kata. Masing-masing dimulai dengan sikap bertahan (uke). Kau boleh saja
mengatakan karena karate dilahirkan sebagai sebuah seni bela diri, wajar saja
tidak mempunyai sikap menyerang lebih dulu.
Hal itu memang benar, namun
jika kau langsung menyimpulkan dari kalimat, “karate tidak mempunyai sikap
menyerang lebih dulu,” dengan kau dapat menahan serangan semaumu, kau belum
memahami jiwa karate-do sepenuhnya. Makna sesungguhnya dari kalimat itu adalah
lebih dalam.
Penjelasan lain dari
menghindari sikap menyerang lebih dulu adalah praktisi karate tidak seharusnya
menciptakan suasana yang dapat menimbulkan perselisihan. Mereka juga tidak
sepantasnya mendatangi tempat-tempat dimana masalah sering terjadi. Untuk
menjalani larangan itu, maka praktisi karate harus menanamkan sikap yang ramah
dan berjiwa besar pada sesama.
Itulah semangat yang terkandung
dalam kalimat, “karate tidak mengenal sikap menyerang lebih dulu”. Dan semangat
itu menjadi jiwa karate-do. Seorang master berkata, ”karate adalah sebuah usaha
untuk menghindari masalah. Kita tidak akan disakiti orang lain, dan kitapun
tidak perlu menyakiti orang lain.” Sementara master yang lain mengatakan,
“kedamaian mencegah perselisihan, kekerasan dan kebencian. Karena jika tidak,
kau tidak dipercaya dan akan musnah.”
Di bagian paling dasar dari
jiwa karate-do tersembunyi keinginan memberikan kedamaian bagi orang banyak.
Kedamaian itu berdasarkan pada sopan santun. Dikatakan bahwa budaya seni bela
diri Jepang dimulai dan diakhiri dengan memberi hormat. Suatu hal yang sama
dengan karate-do.
Master Funakoshi telah mengumpulkan kata dari pendahulunya dan merangkumnya dalam 15 kata untuk berlatih. Salah satunya bernama Kanku, menggambarkan keinginan untuk mencapai kedamaian sebagai jiwa dari karate-do. Tidak seperti kata yang lain, Kanku dimulai sebuah gerakan yang tidak berhubungan dengan teknik menyerang atau bertahan.
Tangan diposisikan bersamaan, telapak mengarah keluar dan praktisinya melihat ke langit melalui celah segi tiga yang dibentuk ibu jari dan jari tangan lainnya. Sikap ini menggambarkan penyatuan diri dengan alam, ketenangan dan keinginan untuk mencapai kedamaian. Praktisi karate selayaknya selalu rendah hati, bersikap ramah dan keinginan mencapai kedamaian. Karate benar-benar sebuah seni dari orang-orang yang berbudi luhur.
Artikel ini diterjemahkan dari tulisan Masatoshi Nakayama yang berjudul “The Soul of Karate-do - Initial Move and Posture.” yang dimuat dalam majalah Dragon Times. Editing dan alih bahasa pertama kali oleh Bachtiar Effendi (Indoshotokan).